Kesepakatan Dagang Indonesia-AS Tandai Era Baru Kolaborasi Ekonomi Digital dan Investasi Strategis

Kesepakatan Dagang Indonesia-AS Tandai Era Baru Kolaborasi Ekonomi Digital dan Investasi Strategis
Kesepakatan Dagang Indonesia-AS Tandai Era Baru Kolaborasi Ekonomi Digital dan Investasi Strategis. Foto: Dok Kemenko Perekonomian

Pemerintah juga mengatur pelonggaran Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara terbatas untuk produk-produk tertentu dari AS, seperti perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi, data center, dan alat kesehatan. Kebijakan ini tetap berada dalam koridor pengawasan oleh kementerian/lembaga teknis terkait dan mengikuti prosedur impor yang berlaku.

Terkait pengakuan sertifikasi FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) untuk alat kesehatan, Airlangga mengungkapkan bahwa mekanisme ini sudah pernah diterapkan sebelumnya, termasuk saat pengadaan vaksin Covid-19 dari luar negeri.

Pada sektor industri, kesepakatan ini juga menyentuh isu mineral kritis. Indonesia menegaskan bahwa ekspor ke AS hanya akan dilakukan untuk produk mineral hasil olahan, bukan lagi dalam bentuk mentah (ore). Kebijakan ini sejalan dengan strategi hilirisasi nasional.

Untuk mendukung pembiayaan sektor ini, lembaga keuangan negara Danantara menggandeng Development Finance Corporation (DFC) dari AS. Indonesia pun menyatakan tetap membuka pintu investasi untuk mitra internasional di sektor strategis, termasuk dari Amerika Serikat.

Terkait impor bahan pangan, Menko Airlangga juga menjelaskan bahwa impor pangan seperti kedelai, gandum, dan kapas masih diperlukan karena komoditas tersebut tidak diproduksi di dalam negeri. Barang-barang tersebut digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, serta untuk menjaga stabilitas harga pangan (volatile food).

Sementara itu, kebijakan perizinan impor dan pengelolaan Neraca Komoditas bertujuan untuk menyesuaikan suplai dengan kebutuhan nasional secara berkelanjutan.

Dalam momentum kesepakatan perdagangan ini, beberapa perusahaan raksasa AS telah menyatakan komitmen investasi di Indonesia. Beberapa proyek besar yang akan digarap antara lain yakni kerja sama pembangunan fasilitas Carbon Capture and Storage (CCS) senilai USD 10 miliar oleh ExxonMobil, pusat data di Batam senilai USD 6,5 miliar oleh Oracle, infrastruktur cloud dan AI senilai USD 1,7 miliar oleh Microsoft, pengembangan AI dan cloud senilai USD 5 miliar oleh Amazon, hingga fasilitas produksi CT scanner pertama di Indonesia senilai Rp178 miliar oleh GE Healthcare.

Kesepakatan perdagangan Indonesia-AS ini diharapkan dapat memperkuat daya saing, inovasi, kapasitas riset (R&D), dan pengembangan ekonomi digital. Selain itu, perjanjian ini juga akan mendorong konektivitas logistik antarwilayah dan membuka lebih banyak lapangan kerja di sektor padat karya.

“Apa yang dilakukan Pemerintah melalui kerja sama dengan Amerika adalah menjaga keseimbangan internal dan eksternal, agar neraca perdagangan terjaga dan momentum ekonomi serta penciptaan lapangan kerja bisa terjamin,” tutup Airlangga.

“Kalau tarif tetap 32%, artinya tidak ada perdagangan, sama saja dengan embargo dagang. Itu bisa berdampak pada satu juta pekerja di sektor padat karya,” tambahnya.