Selain penurunan tarif, Indonesia dan AS juga menyepakati penghapusan sejumlah hambatan non-tarif (non-tariff barriers) yang selama ini memperlambat perdagangan bilateral. Detail kesepakatan ini akan diumumkan lebih lanjut dalam pernyataan bersama (joint statement) resmi.
Menjawab kekhawatiran terkait potensi dampak negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia, Airlangga menegaskan bahwa pembelian sejumlah produk dari AS dalam perjanjian ini tidak akan merugikan Indonesia. Pasalnya, produk-produk tersebut seperti gandum, kedelai, hingga energi memang telah diimpor dari negara lain. Dengan perjanjian baru, Indonesia hanya akan mengganti negara asal impor tanpa menambah beban perdagangan.
Lebih jauh, kebijakan penurunan tarif ini diyakini akan membawa dampak strategis terhadap perekonomian nasional. Selain menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan, langkah ini juga melindungi hingga satu juta tenaga kerja yang bergantung pada industri padat karya, serta meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, termasuk produk unggulan seperti minyak sawit yang kini semakin diminati pasar global, khususnya AS dan Eropa.
“Saya bilang kalau ini tidak diberikan, Indonesia kompetitif, 1 juta orang akan kehilangan pekerjaan. Jadi Amerika kan ingin menjadi partner Indonesia, the third largest democratic country and the largest economy di Asia Tenggara,” tegas Menko Airlangga.
Sebagai informasi tambahan, Indonesia menjadi negara pertama yang memperoleh pengecualian dari tarif baru yang rencananya akan mulai diberlakukan AS pada 1 Agustus 2025. Ketentuan baru sebesar 19% akan dirilis secara resmi melalui Joint Statement dalam waktu dekat.
Dalam agenda sosialisasi tersebut turut hadir sejumlah pejabat tinggi negara, seperti Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional, para Wakil Menteri dari berbagai kementerian strategis, perwakilan BUMN, serta asosiasi pelaku usaha nasional.