Sementara itu, Kepala Deputi Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia EuroCham Indonesia, Sylviawati Tanuwikarta, menilai implementasi Indonesia-EU CEPA akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di UE.
“Kami melihat Indonesia-EU CEPA menjanjikan karena bisa membuka lebih banyak peluang pekerjaan yang lebih banyak di highly skilled labor,” kata Sylvi.
Menurutnya, sektor unggulan seperti kopi, kelapa sawit, dan kakao juga berpotensi meningkatkan produktivitas dan menumbuhkan kebutuhan tenaga kerja di pasar Eropa.
Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Council, Devi Ariyani, menambahkan bahwa peluang kerja di UE sebenarnya sudah dimanfaatkan baik melalui jalur mandiri maupun kerja sama bisnis ke bisnis. Namun, pemerintah perlu mengidentifikasi secara tepat sektor yang mengalami kelebihan tenaga kerja agar tidak terjadi kekurangan di dalam negeri.
Ia menilai sektor healthcare workers serta bidang culinary dan hospitality management berpotensi besar mengisi pasar tenaga kerja Eropa.
Dari sektor arsitektur, Ketua Dewan Arsitek Indonesia Bambang Eryudhawan mengungkapkan masih adanya kekurangan arsitek dalam negeri dengan rasio satu arsitek untuk 39.314 penduduk Indonesia.
“Artinya, satu arsitek di Indonesia melayani 39.314 orang. Kondisi ini berbeda jauh dengan Australia yang 1:1.975 dan Italia 1:388,” ujarnya.
Menurut Bambang, peningkatan kualitas lulusan arsitek dan dukungan kerja sama bilateral diperlukan agar Indonesia dapat memperluas peran di sektor jasa arsitektur di UE.
Antusiasme terhadap peluang kerja di luar negeri juga dirasakan para peserta seminar. Salah satunya, Alesya, lulusan baru teknik, mengaku tertarik untuk meniti karier di luar negeri.
“Saya sangat membuka diri terhadap kesempatan mendapatkan pekerjaan di luar negeri, karena itu saya tertarik mengikuti seminar ini,” ungkap Alesya.
Kemendag bersama lembaga terkait berkomitmen memperkuat sinergi lintas sektor untuk menyiapkan tenaga profesional Indonesia agar mampu bersaing di pasar tenaga kerja Eropa yang semakin kompetitif.













