Menyikapi optimisme ini, pegiat kopi asal Purbalingga, Hapsoro Paripurno atau akrab disapa Rio, memperkenalkan sebuah konsep holistik bernama ‘Mempertautkan Kopi, Kita, dan Bumi’. Konsep ini adalah inisiatif kolaboratif yang memposisikan kopi sebagai jembatan antara manusia dan alam.
“Konsep inisiatif kolaboratif yang menjadikan kopi sebagai organic interface, medium penghubung antara manusia dan bumi. Konsep ini menghadirkan narasi multikanal tentang keberlanjutan melalui tur, pameran, riset, seni, media, dan pengalaman konsumsi kopi yang reflektif,” jelas Rio, yang juga memproduksi ‘Kopi PBG’.
Tujuan dari konsep ini, lanjutnya, adalah untuk meningkatkan nilai jual kopi lokal sebesar 20–30 persen melalui pendekatan berkelanjutan dan jejaring strategis dengan pengusaha di Jakarta dan pemerintah pusat.
Dukungan juga datang dari penasihat Kompak, Dr. Indaru, yang mendorong pemanfaatan lahan hutan kemasyarakatan untuk budidaya kopi. “Lahan hutan tersebut, bisa juga digunakan untuk tanaman jenis kopi. Harapannya, tentu dapat menaikan kesejahteraan petani kopi dan juga mendukung upaya konservasi,” ujar dosen Fisipol Unsoed ini.
Kepala Dinpertan Purbalingga, Prayitno, menyambut baik geliat ini dengan menyatakan kesiapan pemerintah daerah untuk berkolaborasi. Data yang ia sampaikan menunjukkan luas lahan Robusta di Purbalingga mencapai 1.682 hektar dengan produktivitas 188,3 kg/hektar, sementara Arabika seluas 98 hektar dengan produktivitas 130,5 kg/hektar.
“Pemkab Purbalingga melalui Dinpertan, siap berkolaborasi dengan para petani kopi. Dinpertan juga memiliki lahan kopi di Desa Cendana seluas 1,9 hektar yang siap untuk sarana demplot ataupun kerjasama untuk peningkatan kapasitas petani kopi,” pungkas Prayitno, menegaskan komitmen pemerintah mendukung kebangkitan kopi Purbalingga.
