Syekh Ibnu Allan menafsirkan lafaz mihnati ahlihi dalam hadits tersebut mencakup berbagai pekerjaan rumah yang dilakukan Rasulullah, mulai dari memeriksa pakaian dari kutu, memerah susu kambing, menambal baju, menjahit sandal, hingga menyapu rumah. Beliau juga melayani dirinya sendiri, memberi makan hewan tunggangan, hingga membawa barang dagangan dari pasar. (Dalilul Falihin lit Thuruqi Riyadhis Shalihin, Juz V, hlm. 71).
Meski memiliki kedudukan tinggi sebagai Rasul dengan wahyu dan mukjizat, Nabi Muhammad tetap hidup sederhana, rendah hati, dan tidak meminta untuk dilayani. Imam Al-Munawi menjelaskan:
وَفِيهِ أَنَّ ٱلْإِمَامَ ٱلْأَعْظَمَ يَتَوَلَّى أُمُورَهُ بِنَفْسِهِ، وَأَنَّهُ مِنْ دَأْبِ ٱلصَّالِحِينَ
Artinya: “Di dalamnya mengandung pelajaran bahwa seorang pemimpin agung itu menangani urusannya sendiri, dan hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang saleh.” (Faidlul Qadir, 2001, Juz V, hlm. 269–270).
Selain menunjukkan sikap rendah hati, hadits tersebut juga menegaskan pentingnya mendahulukan ibadah. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali menyatakan bahwa jika seseorang sedang sibuk dengan urusan dunia, maka ketika waktu shalat tiba, hendaknya ia segera meninggalkan pekerjaannya untuk menunaikan ibadah, baik sebagai imam maupun makmum. (Fathul Bari fi Syarhi Shahih Bukhari, 1996, Juz VI, hlm. 109).
Teladan Rasulullah di rumah menjadi pedoman penting bagi kaum muslimin, khususnya suami. Membantu pekerjaan rumah bukan hanya bentuk kasih sayang, tetapi juga cara menjaga keharmonisan keluarga.
Selain itu, bergegas menunaikan shalat ketika waktunya tiba menjadi sunnah yang harus dijaga, sebab urusan dunia tidak pernah ada habisnya. Dengan meneladani akhlak Rasulullah, kepemimpinan seorang suami akan semakin kuat, harmonis, dan penuh keberkahan.
Wallahu a‘lam.













