Data Bea Cukai hingga Agustus 2025 menunjukkan ekspor Indonesia meningkat 7,8 persen secara tahunan, ditopang sektor industri pengolahan serta hilirisasi mineral, terutama nikel dan tembaga. Neraca perdagangan kumulatif Januari–Agustus 2025 bahkan melonjak 52,3 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Ini pertumbuhan yang amat spektakuler. Walaupun orang bilang karena mau ada tarif, mereka ini duluan front loading, tapi kalau saya lihat tetap aja tumbuh,” ungkap Purbaya.
Faktor penting lain adalah stabilitas inflasi. Hingga Agustus 2025, inflasi Indonesia tercatat 2,31 persen (year on year/yoy), berada dalam kisaran konsensus global 1–3 persen.
“Inflasi yang bagus itu bukan nol, bukan juga di atas 10 persen. Tapi sekarang konsensus ekonomi global antara 1 sampai 3 persen dan kita sekarang di 2,3 persen, level yang pas,” kata Menkeu.
Sebagai perbandingan, inflasi di Singapura hanya 0,6 persen dan Malaysia 1,2 persen, yang dinilai mencerminkan lemahnya permintaan domestik di negara-negara tersebut.
Pemerintah memastikan sinergi kebijakan fiskal dan moneter terus diperkuat. Bank Indonesia sebelumnya telah memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin untuk mendorong likuiditas perbankan serta meningkatkan pembiayaan produktif.
“Sekarang semuanya sudah kita set agar ekonomi bergerak lebih cepat. Konsumsi dan investasi akan naik karena bunga turun, dan multiplier effect untuk pertumbuhan akan semakin signifikan,” jelas Menkeu.
Dengan kombinasi faktor eksternal yang lebih kondusif, inflasi yang terkendali, dan permintaan domestik yang kuat, pemerintah menilai prospek ekonomi Indonesia hingga akhir 2025 semakin positif.
Momentum ini diyakini dapat menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi dan berkelanjutan di tahun-tahun mendatang.
