Lahan-lahan tersebut berbeda dalam ukuran dan nilai. Beberapa plot memiliki luas 25 hektare, sementara yang lain bahkan melampaui 80 hektare, tergantung pada lokasi dan tingkat kedekatannya dengan pusat kota Mekkah.
Pemerintah Arab Saudi, kata Rosan, meminta Indonesia untuk menyiapkan desain proyek dan rencana infrastruktur pada Oktober 2025. Dalam prosesnya, tidak ada persyaratan barter kebijakan atau perjanjian timbal balik lainnya.
“Ini karena memang waktu itu permintaan langsung dari Bapak Presiden ke Crown Prince MBS dan disetujui, sehingga proses ini sudah berjalan dan ini menjadi satu bukti nyata juga bahwa apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden, insyaallah bisa terlaksana,” tegasnya.
Untuk mengawal dan mengeksekusi proyek prestisius ini, pemerintah menunjuk Danantara sebagai badan pelaksana utama. Rosan menjelaskan bahwa perbedaan karakteristik tiap lahan akan memengaruhi struktur harga dan luas tanah.
“Tiap daerah beda-beda, kisarannya itu juga berbeda-beda, ini kan luasnya ada yang dari 25 hektare sampai di atas 80 hektare. Kalau makin besar mungkin agak jaraknya tidak sedekat yang misalnya hanya 15 hektare,” jelasnya.
Mengenai aspek sosial seperti pembebasan lahan dan relokasi penduduk yang masih menempati wilayah proyek, Rosan memastikan hal tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah Arab Saudi. Indonesia hanya akan fokus pada aspek pengembangan dan pengelolaan setelah kepemilikan disahkan.
Rosan menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa proyek ini tidak hanya bernilai strategis, tetapi juga sangat mulia bagi masa depan pelayanan jemaah haji dan umroh asal Indonesia.
“Ini adalah proyek yang sangat mulia, yang diinisiasi oleh Bapak Presiden dan insyaallah proses ini akan bisa berjalan dengan baik. Mohon doa restunya karena ini adalah suatu hal yang menurut kami sangat luar biasa dan memberikan benar-benar asas manfaat yang besar kepada haji, umroh kita ke depan,” ujarnya.













