Sementara itu, Bante Damawudo, tokoh agama Buddha, menyambut baik undangan untuk ambil bagian dalam acara ini. Ia mengungkapkan bahwa keikutsertaan komunitas Buddhis dalam doa kebangsaan lintas agama ini merupakan pengalaman baru yang sangat bermakna.
“Terus terang ini yang pertama ya, jadi kami sangat senang sekali karena diundang untuk berpartisipasi doa bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Agama Muslim yang menjadi host atau tuan rumah acara ini,” katanya.
Dua tokoh dari agama Kristen Protestan, Pendeta Tommy Lengkong dan Pendeta Mulia Tibriani, memandang kegiatan ini sebagai wujud nyata kebersamaan dalam keberagaman. Mereka menekankan pentingnya menanggalkan label mayoritas dan minoritas dalam kehidupan berbangsa.
“Kita bukan berbicara mayoritas dan minoritas. Bukan juga ada istilah yang kami dengar di sini, ada Islam dan non-Islam. Tapi kita melihat kebersamaan pada malam hari ini. Dan kebersamaan itu indah,” ujar Pendeta Tommy.
Senada dengan hal tersebut, Perwakilan dari agama Konghucu, Wonsei Sunarta Hidayat, turut menyampaikan harapannya agar Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik di masa depan. Ia menggarisbawahi pentingnya mengandalkan kekuatan spiritual dalam membangun negeri.
“Kita manusia adalah tentu sangat lemah, segala sesuatunya tidak bisa kita jalan sendiri karena harus membutuhkan pertolongan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itulah, doa ini kita berharap agar ke depan Indonesia benar-benar bisa lebih baik,” tuturnya.
Kegiatan doa lintas agama menjelang 17 Agustus ini bukan sekadar seremoni, tapi juga menjadi cermin bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperjuangkan melalui senjata dan diplomasi, melainkan juga lewat kekuatan doa dan nilai-nilai spiritual yang menyatukan.
HUT RI ke-80 tahun 2025 menjadi momentum penting untuk kembali meneguhkan semangat kebangsaan, merawat toleransi, dan menjunjung tinggi persatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.













