Kalimat itu terdengar sepele bagi yang tak tahu ceritanya, namun bagi penyidik dan keluarga korban, itulah potongan puzzle yang menunjukkan adanya niat jahat yang tumbuh jauh sebelum tragedi.
“Dari fakta-fakta yang kami ungkap, kami berpendapat niat pelaku untuk membunuh korban sudah ada jauh hari sebelum 7 Agustus,” tegas Nabawy. Menurutnya, tingkah rewel korban saat pelaku berkunjung ke rumah RI membuat FAS merasa terganggu, seolah bocah itu menjadi tembok yang menghalangi hubungan gelapnya.
Kini, FAS dan RI resmi berstatus tersangka. Kepolisian menjerat FAS dengan Pasal 76C juncto Pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak yang mengancamnya dengan 15 tahun penjara. Namun, bagi pihak keluarga, hukuman itu belum cukup.
“Kami mendesak penyidik agar menggunakan pasal pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP, dengan ancaman maksimal hukuman mati,” ujar Nabawy.
Baginya, ini bukan sekadar kasus kekerasan terhadap anak biasa. Apalagi korban adalah bocah tak berdosa yang nyawanya diambil demi melanggengkan hubungan terlarang.
Sementara menurut kakak kandung RI menyatakan, adiknya tak memiliki utang kepada FAS, baik pribadi maupun lembaga tempatnya bekerja. Keterangan itu senada dengan pengakuan suami RI yang yakin sang istri memang menjalin hubungan gelap dengan pelaku.
Bagi keluarga besar korban, semua ini memperkuat keyakinan bahwa AKA memang dianggap penghalang yang harus disingkirkan.
Tragedi Bukit Cikukun bukan hanya tentang satu nyawa kecil yang hilang, tapi juga tentang bagaimana cinta terlarang, amarah, dan kebencian bisa bersekongkol menjadi kekejaman yang sulit dinalar. Di tengah hening perkebunan karet, suara tawa seorang bocah telah dibungkam untuk selamanya, meninggalkan luka yang takkan pernah sembuh bagi keluarga yang ditinggalkan.
