Pendaratan di tepi sungai bukan prosedur standar, namun kru pernah dilatih untuk skenario itu. Komunikasi singkat di kokpit langsung menentukan langkah.
“Pernah latihan pendaratan di tepian sungai?” tanya pilot senior dengan suara tenang.
“Siap, Capt. Prosedur pernah dilatih. Kami siap.”
“Oke, kita coba turunkan di kerikil basah itu.”
Dengan kontrol presisi yang penuh risiko, helikopter menurunkan ketinggian. Angin kencang dari baling-baling memecah permukaan air, sementara skid menyentuh tanah kerikil secara perlahan namun stabil. Tidak ada waktu terbuang, mesin tetap hidup, dan kru langsung bergerak menurunkan bantuan.
Kotak berisi makanan, obat-obatan, dan kebutuhan darurat disusun cepat di tepi sungai. Tak lama, warga Sihaporas datang satu per satu. Raut wajah mereka menampilkan campuran lega, syukur, dan kelelahan setelah berhari-hari terputus dari dunia luar.
Anak-anak mendekat paling cepat, menatap helikopter dengan rasa kagum. Pandangan polos mereka menjadi penawar keletihan para kru yang sejak awal mempertaruhkan nyawa untuk menembus cuaca ekstrem.
Ketika matahari mulai turun dan langit memerah, helikopter PK-RTQ kembali mengudara. Dari atas, terlihat warga bahu membahu membawa bantuan menuju titik aman. Pemandangan itu menjadi penutup misi yang penuh tekanan, namun berhasil dengan baik.
Keberhasilan pendaratan non-standar di wilayah sulit seperti Sihaporas menjadi bukti kemampuan adaptasi dan ketangguhan tim BNPB dalam menghadapi kondisi darurat. Misi ini juga menegaskan pentingnya kesiapan jalur udara bagi daerah rawan bencana, terutama ketika seluruh akses terputus.
Kisah ini menambah daftar operasi krusial BNPB dalam menangani situasi ekstrem dan memastikan masyarakat tidak ditinggalkan pada saat-saat paling genting.
Misi boleh dikatakan selesai. Namun pesan utamanya jelas, ketika daratan tak lagi bisa ditembus, kepedulian yang terbang melalui udara akan selalu menemukan jalannya.













