Dari hadis tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa ibu merupakan sosok yang paling layak untuk mengasuh anak pasca perceraian, selama ia belum menikah lagi dan tetap memenuhi syarat sebagai pengasuh.
Penjelasan lebih rinci mengenai alasan ibu lebih diprioritaskan dalam hal hak asuh dijabarkan dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji. Disebutkan bahwa:
إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: (١) لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. (٢) لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو
Artinya: “Sesungguhnya, ibu lebih berhak daripada bapak dalam urusan hak asuh karena beberapa faktor berikut: [1] Karena sempurnanya rasa kasih sayang seorang ibu dan kesabarannya dalam menghadapi ujian ketika memberikan perawatan dan pendidikan. [2] Karena ibu lebih lemah lembut ketika mengasuh dan merawat anak kecil, serta lebih proporsional untuk memberikan rasa sayang kepada mereka.” (Musthafa Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], juz IV, hal. 192)
Karakter ibu yang penuh kasih, sabar, dan telaten menjadikannya sosok ideal bagi anak yang masih dalam masa pertumbuhan, baik secara fisik maupun emosional.
Meski ibu mendapat prioritas, hak asuh tidak serta-merta jatuh kepadanya jika syarat-syarat tertentu tidak terpenuhi. Dalam kitab Matn Taqrib, disebutkan ada tujuh kriteria utama yang harus dipenuhi seseorang agar bisa menjadi wali pengasuh anak:
وشرائط الحضانة سبع العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والإقامة والخلو من زوج فإن اختل منها شرط سقطت
Artinya: “Syarat-syarat Hadhanah ada tujuh; berakal, merdeka, beragama islam, terjaga dari dosa besar, amanah, menetap/mukim, tidak memiliki suami (dari laki-laki yang bukan kerabat dekat anak). Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi mak hak asuhnya gugur.” (Abi Syuja’, Al-Taqrib, [Indonesia: Darul Kitab al-Islami, t.th.] hal. 49)
Misalnya, jika sang ibu menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat dekat anak, maka hak asuhnya bisa dialihkan kepada pihak lain yang lebih memenuhi syarat.
Dalam sistem hukum Indonesia, pengaturan tentang hak asuh anak pasca perceraian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), khususnya Pasal 105. Dalam pasal ini ditegaskan jika anak belum mencapai usia tamyiz (belum berusia 12 tahun), maka hak asuh diberikan kepada ibunya. Namun, jika anak sudah mumayyiz, ia berhak memilih apakah ingin diasuh oleh ayah atau ibunya.
Pengaturan ini selaras dengan prinsip perlindungan anak dan pertumbuhan optimal di bawah asuhan sosok yang paling memenuhi kebutuhan fisik dan emosional anak.
Hak asuh anak atau hadhanah merupakan isu penting yang harus diperhatikan secara serius dalam kasus perceraian. Selama anak belum mencapai usia tamyiz, maka secara umum hak asuh berada di tangan ibu, karena dianggap lebih mampu memenuhi kebutuhan dasar dan kasih sayang anak. Namun, ketentuan ini tidak berlaku mutlak dan tetap bergantung pada terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Dengan memahami ketentuan hadhanah menurut hukum Islam dan negara, diharapkan para orang tua yang bercerai tetap bisa menjaga hak-hak anak demi masa depan mereka yang lebih baik. Wallahu a’lam.













