MALANG, MyInfo.ID – Suasana senja di Kota Malang, Jawa Timur, terasa syahdu saat lantunan bacaan Alquran anak-anak menggema di Aula Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 22. Di antara mereka, tampak seorang siswi berwajah ramah dengan kemeja flanel dan sandal sederhana. Ia adalah Gressella Putri Darria (17), atau akrab disapa Gressella. Di balik senyumnya, tersimpan kisah ketabahan seorang anak sulung yang harus dewasa sebelum waktunya.
Gressella tumbuh di keluarga sederhana di kawasan Gadang, Kecamatan Sukun, Kota Malang. Hidupnya berubah drastis setelah ayahnya meninggal pada Oktober 2020 di usia 40 tahun. Sejak saat itu, ibunya, Sofaria, menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja seharian sebagai asisten rumah tangga.
“Kalau Mama pulang malam, saya yang urus rumah dan adik-adik. Kalau kemalaman kan kasihan capek, di rumah tinggal istirahat saja, pagi kerja lagi,” tutur Gressella lirih, seperti dikutip dari laman Kemensos, Rabu (24/9/2025).
Sebagai kakak tertua dari tiga bersaudara, ia terbiasa memasak, merapikan rumah, dan memastikan kedua adiknya siap berangkat sekolah. Sang adik laki-laki kini duduk di kelas 6 SD, sementara adik perempuannya masih di bangku TK.
Perjalanan pendidikannya sempat terhenti karena pengalaman pahit. Saat bersekolah di SMK jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR), Gressella kerap menjadi sasaran ejekan lantaran menjadi satu-satunya siswi perempuan di kelas.
“Omongannya itu sakit banget. Aku udah nahan setengah tahun enggak bilang Mama, enggak bilang siapa-siapa. Aku kayak suka bolos, sudah tidak kuat di kelas, sering dikucilkan dan (akhirnya) memutuskan mau keluar,” kenangnya sedih.
Ketika akhirnya menceritakan semuanya, sang ibu hanya bisa menangis. “Saya menangis sampai kejang, sakit karena terlalu lama dipendam,” kata Gressella dengan mata berkaca-kaca.
Trauma itu membuatnya berhenti sekolah selama enam bulan. Hari-harinya diisi dengan merawat adik-adik, menggantikan sebagian besar peran ibunya di rumah.
Kesempatan kedua hadir ketika seorang tetangga memperkenalkan Sekolah Rakyat. Meski sempat ragu karena takut mengalami perundungan lagi, dorongan sang ibu dan pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) membuatnya berani mencoba.
“Setidaknya bisa melanjutkan sekolah lagi, walaupun juga terlambat,” ucapnya.
Tanpa tes akademik, ia resmi diterima di SRMA 22 sebagai siswa kelas 10. Sejak hari pertama, Gressella merasakan suasana belajar yang berbeda. “Awalnya saya kira bakal susah cari teman, ternyata enggak. Gurunya enak-enak. Sayang ke muridnya semua,” katanya sambil tersenyum.













