Ferry juga menekankan bahwa keberadaan Kopdes tidak dimaksudkan untuk bersaing dengan warung UMKM desa. Sebaliknya, Kopdes akan berperan sebagai subdistributor yang memperkuat rantai pasok dari produsen hingga konsumen desa.
“Kita tidak ingin Kopdes ini justru menciptakan persaingan dengan warung UMKM. Justru posisinya bisa menjadi agen sub distributor, sehingga membantu memperkuat jaringan distribusi,” tegasnya.
Dengan mekanisme tersebut, rantai distribusi diharapkan lebih singkat, biaya logistik berkurang, dan barang subsidi bisa tersalurkan dengan tepat sasaran sesuai harga ketentuan.
Deputi Bidang Koordinasi Tata Niaga dan Distribusi Pangan Kemenko Pangan, Tatang Yuliono, menilai penguatan model bisnis Kopdes/Kel Merah Putih sangat penting. Menurutnya, pemangkasan rantai pasok menjadi kunci agar harga kebutuhan pokok lebih stabil di tingkat desa.
“Kopdes ini harus mampu menjadi distributor level akhir di desa agar masyarakat tertarik, dan barang tersedia tepat waktu dengan harga sesuai ketentuan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Champion Cabai Indonesia (ACCI), Tunov Mondro Atmojo, menyoroti peran strategis Kopdes sebagai offtaker hasil pertanian. Ia berharap koperasi desa ini mampu menyerap langsung hasil panen petani, khususnya cabai, sehingga harga jual tetap terjamin dan menguntungkan petani.
Ferry optimistis bahwa kolaborasi antara pemerintah, BUMN, swasta, asosiasi, dan koperasi lokal akan menciptakan ekosistem ekonomi desa yang lebih kuat. Dengan rantai distribusi yang lebih sederhana, masyarakat desa bisa mendapatkan akses kebutuhan pokok dengan harga wajar, sekaligus memberi peluang bagi UMKM dan petani untuk berkembang.
“Kolaborasi ini sangat penting. Kami membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bapak-ibu semua untuk berpartisipasi membangun ekosistem Kopdes Merah Putih yang lebih baik,” pungkasnya.
