DALAM kehidupan rumah tangga, perceraian kerap menjadi langkah terakhir yang ditempuh ketika pernikahan tidak bisa lagi dipertahankan. Meski ikatan suami-istri telah berakhir, tanggung jawab sebagai orang tua tetap melekat, terutama dalam hal pengasuhan anak. Hal ini menjadikan pembahasan soal hak asuh anak atau hadhanah sangat penting, bahkan bisa memicu sengketa di pengadilan. Siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah perceraian? Apakah ibu atau ayah?
Istilah hadhanah berasal dari kata Arab al-hidhn, yang berarti lambung atau sisi tubuh. Secara istilah, hadhanah adalah upaya merawat dan melindungi anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri dari segala sesuatu yang membahayakannya.
Seperti dijelaskan dalam kitab Fathul Qarib seperti dilansir dari laman NU Online, Jumat (1/8/2025):
وهي لغة مأخوذة من الحضن بكسر الحاء، وهو الجنب لضم الحاضنة الطفل إليه، وشرعا حفظ من لا يستقل بأمر نفسه عما يؤذيه لعدم تمييزه
Artinya: “Hadhanah secara bahasa merupakan derivasi dari kata al-hidhnu dengan ha’ dibaca kasrah yang berarti lambung. Dinamakan demikian lantaran perempuan yang mengasuh mendekap anak kecil mendekati lambungnya. Secara terminologi syariat, hadhanah adalah melindungi orang yang masih belum mandiri dari segala hal yang dapat menyakitinya disebabkan karena ia belum tamyiz.” (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, hal. 49)
Dengan demikian, hadhanah merupakan hak sekaligus kewajiban untuk mendidik, membimbing, dan merawat anak yang belum mumayyiz atau belum mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Termasuk juga anak berkebutuhan khusus yang memerlukan pendampingan khusus.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa ibu adalah pihak yang paling berhak memperoleh hak asuh anak, setidaknya hingga anak mencapai usia tamyiz (sekitar 7–12 tahun). Pertimbangannya bukan hanya karena anak memerlukan kasih sayang dan perhatian lebih di usia dini, tetapi juga karena secara naluriah, ibu memiliki kesabaran dan empati lebih tinggi dalam merawat anak.
Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Sahabat Abdullah bin Umar. Dalam kisah tersebut, seorang perempuan mengadu kepada Nabi Muhammad SAW bahwa suaminya ingin mengambil anaknya setelah mereka bercerai. Perempuan itu berkata:
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
Artinya: “Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya anaku ini perutku adalah tempatnya, payudaraku adalah wadah minumnya, dan kamarku adalah rumahnya. Sementara itu, ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku”.
Mendengar pengaduan itu, Rasulullah SAW bersabda:
‘Kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah (lagi)’.” (HR. Abu Dawud.)













